Selasa, 01 Oktober 2013

kasus pelanggaran ham dan penyelesaiannya


Peristiwa Tanjung Priok 1984

Peristiwa berdarah Tanjung Priok 1984, adalah satu peristiwa yang sudah disiapkan sebelumnya dengan matang oleh intel-intel militer. Militerlah yang menskenario dan merekayasa kasus pembataian Tanjung Priok, Ini adalah bagian dari operasi militer yang bertujuan untuk mengkatagorikan kegiatan-kegiatan keislaman sebagai suatu tindak kejahatan, dan para pelaku dijadikan sasaran korban. Terpilihnya Tanjung sebagai tempat sebagai "The Killing field" juga bukan tanpa survey dan anlisa yang matang dari intelejen. Kondisi sosial ekonomi tanjung priok yang menjadi dasar pertimbangan. Tanjung Priok adalah salah satu wilayah basis Islam yang kuat, denga kondisi pemukiman yang padat dan kumuh. Mayoritas  penduduknya tinggal dirumah-rumah sederhana yang terbuat dari barang bekas pakai. kebanyakan penduduknya bekerja sebagai buruh galangan kapal, dan buruh serabutan. Dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah ditambah dengan pendidikan yang minim seperti itu menjadikan Tanjung Priok sebagai wilayah yang mudah sekali terpengaruh dengan gejolak dari luar, sehingga mudah sekali tersulut berbagai isu.
            Suasana panas di Tanjung Priok sudah di rasakan sebulan sebelum peristiwa itu terjadi.  Upaya -upaya provokatif memancing massa telah banyak dilakukan diantaranya, pembangunan gedung bioskup tugu yang sering memutar film maksiat yang  berdiri persis  berseberangan degan masjid Al-hidayah. Tokoh-tokoh islam menduga keras bahwa suasana panas itu memang sengaja direkayasa oleh orang-orang tertentu di pemerintahan yang memusuhi islam. Suasana rekayasa ini terutama sekali dirasakan oleh ulama-ulama di luar tanjung priok. Sebab, di kawasan lain kota di jakarta terjadi sensor yang ketat terhadap para mubaligh, kenapa di Tanjung Priok sebagai basis islam para mubalighnya bebas sekali untuk berbicara, bahkan mengkritik pemerintah dan menentang azas tunggal pancasila. Tokoh senior seperti M Natsir dan syarifudin Prawiranegara sebenarnya telah melarang ulama untuk datang ke tanjung priok agar tidak masuk perangkap, namun seruan itu rupanya tidakterdengar oleh ulama-ulama tanjung priok.
Kronologi peristiwa Tanjung Priok 1984

Pada pertengahan  tahun 1984, Beredar isu tentang RUU  organisasi sosial yang mengharuskan penerimaan azas tunggal.  Hal ini menimbulkan implikasi yang luas. Diantara pengunjung masjid di daerah ini, terdapat  SEOrang mubaligh yang terkenal, Menyampaikan ceramah pada jama'ahnya dengan menjadikan isu ini sebagi topik pembicarannya, sebab Rancangan Undang-Undang tsb sudah lama menjadi masalah yang kontroversi.

Kejadian berdarah Tanjung Priok dipicu oleh tindakan provokatif  tentara.  Pada tanggal 7 september 1984, SEOrang Babinsa beragama katholik sersan satu Harmanu datang ke musholla kecil yang bernama "Musholla As-sa'adah" dan memerintahkan untuk mencabut pamflet yang berisi tulisan problema yang dihadapi kaum muslimin, yang disertai pengumuman tentang kegiatan pengajian yang akan datang. Tak heran jika kemudian orang-orang yang disitu marah melihat tingkah laku Babinsa itu. pada hari berikutnya Babinsa itu datang lagi beserta rekannya, untuk mengecek apakah perintahnya sudah dijalankan apa belum. Setelah kedatangan kedua itulah muncul isu yang menyatakan, kalau militer telah menghina kehormatan tempat suci karena  masuk mushola tanpa menyopot sepatu, dan menyirami pamflet-pamflet di musholla dengan air comberan.

Pada tanggal 10 september 1984, Syarifuddin rambe dan Sofyan Sulaiman dua orang takmir masjid "Baitul Makmur" yang berdekatan dengan Musholla As-sa'adah, Berusaha menenangkan suasana dengan mengajak ke dua tentara itu masuk ke adalam sekretarit takmir mesjid untuk membicarakan masalah yang sedang hangat. Ketika mereka sedang berbiacara di depan kantor, massa diluar sudah terkumpul. Kedua pengurus takmir masjid itu menyarankan kepada kedua tentara tadi supaya persoalaan disudahi dan dianggap selesai saja. Tapi mereka menolak  saran  tersebut. Massa diluar sudah mulai kehilangan kesabarannya. Tiba-tiba saja salah satu dari kerumunan massa menarik salah satu sepeda motor milik prajurit yang ternyata SEOrang marinir dan membakarnya.  Saat itu juga Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaiman beserta dua orang lainnya ditangkap aparat keamanan. Turut ditangkap juga Ahmad Sahi, Pengurus Musholla As-sa'adah dan satu orang lagi yang saat itu berada di tempat kejadian, selanjutnya Mohammad Nur yang membakar motor ditangkap juga. Akibat penahanan empat orang tadi kemarahan massa menjadi tak terbendung lagi, yang kemudian memunculkan tuntutan pembebasan ke empat orang yang ditangkap tadi.

Pada tanggal 11 September 1984, Massa yang masih memendam kemarahannya itu datang ke salah satu tokoh didaerah itu yang bernama Amir Biki, karena tokoh ini dikenal dekat dengan para perwira di Jakarta.  Maksudnya agar ia mau turun tangan membantu membebaskan para tahanan. Sudah sering kali Amir biki menyelesaikan  persoalan yang timbul dengan pihak militer. Tapi  kali ini usahanya tidak berhasil.

Pada tanggal 12 September 1984, beberapa orang mubaligh menyampaikan ceramahnya di tempat terbuka, mengulas berbagai persoalan politik dan sosial, diantaranya adalah kasus yang baru terjadi ini.  Dihadapan massa, Amir biki berbicara dengan keras, yang isinya mengultimatum agar membebaskan para tahanan paling lambat pukul 23.00 Wib malam itu juga. Bila tidak, mereka akan mengerahkan massa untuk melakukan demonstrasi.

Saat ceramah usai, berkumpulah sekitar 1500 orang demonstran yang bergerak menuju kantor Polsek dan Kormil setempat.  sebelum massa tiba di tempat yang dituju, tiba-tiba mereka telah terkepung dari dua arah oleh pasukan yang bersenjata berat. Massa demonstran berhadapan langsung dengan pasukan tentara yang siap tempur.   Pada saat pasukan mulai memblokir jalan protokol, mendadak para demonstran sudah dikepung dari segala penjuru. Saat itu massa tidaklah beringas, sebagian besar mereka hanya duduk-duduk sambil mengumandankan takbir. Lalu tiba-tiba terdengar aba-aba mundur dari komandan tentara, tanpa peringatan lebih dahulu terdengarlah suara tembakan, lalu diikuti oleh pasukan yang langsung mengarahkan moncong senjatanya ke arah demonstran.  Dari segala penjuru terdengan dentuman suara senjata, tiba-tiba ratusan orang demonstran tersungkur berlumuran darah. Disaat para demonstran yang terluka berusaha bangkit untuk menyelamatkan diri,  pada saat yang sama juga mereka diberondong senjata lagi. Tak lama berselang datang konvoi truk militer dari arah pelabuhan menerjang dan menelindas demostran yang sedang bertiarap di jalan,  Dari atas truk tentara dengan membabi buta menembaki para demonstran. Dalam sekejap jalanan dipenuhi oleh jasad-jasad manusia yang telah mati bersimbah darah.  Sedang beberapa korban yang terluka tidak begitu parah berusaha lari menyelamatkan diri berlindung ke tempat-tempat disekitar kejadian.

Sembari para tentara mengusung korban-korban yang mati dan terluka ke dalam truk militer, masih saja terdengar suara tembakan tanpa henti. Semua korban dibawa ke rumah sakit tentara di Jakarta, sementara rumah sakit-rumah sakit yang lain dilarang keras menerima korban penembakan Tanjung Priok.  Setelah para korban diangkut, datanglah mobil pemadam kebakaran untuk membersihkan jalanan dari genangan darah para korban penembakan. 

            Pemerintah menyembunyikan fakta jumlah korban  dalam tragedi berdarah itu.  Lewat panglima ABRI saat itu LB. Murdhani menyatakan bahwa jumlah yang tewas sebanyak 18 orang dan yang luka-luka 53 orang. Tapi data dari Sontak (SOlidaritas Untuk peristiwa Tanjung Priok) jumlah korban yang tewas mencapai 400 orang.  Belum lagi penderitaan korban yang ditangkap militer  mengalami berbagai macam penyiksaan.  Dan Amir Biki sendiri adalah salah satu korban yang tewas diberondong peluru tentara...

Penyelesaian
Pengadilan HAM ad hoc di Jakarta, tahun 2003 – 2004.


 Pengadilan HAM Jakarta Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM berat Tanjung Priok telah menyelesaikan tugasnya untuk mengadili perkara tersebut pada pertengahan tahun 2004 yang lalu. Perkara terakhir yang diputuskan oleh Pengadilan HAM Jakarta Pusat adalah perkara Sutrisno Mascung, dkk, yaitu pada 20 Agustus 2004, dengan putusan terdakwa Sutrisno Mascung, dkk telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM yang berat berupa pembunuhan dan percobaan pembunuhan. Oleh karenanya, terdakwa Sutrisno Mascung, dkk dijatuhi pidana penjara masing-masing 3 tahun penjara untuk Sutrisno Mascung, dan 2 tahun penjara untuk anggotanya2.
Sebelumnya, Pengadilan HAM Jakarta Pusat juga telah menjatuhkan putusan kepada para terdakwa lainnya dalam perkara pelanggaran HAM berat Tanjung Priok. Pada 30 April 2004, Majelis Hakim yang mengadili perkara R. Butar-Butar menyatakan bahwa R. Butar-Butar selaku Komandan Kodim 0502 Jakarta telah terbukti melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan dan penganiayaan. Terhadap terdakwa R. Butar-Butar, Majelis Hakim yang dipimpin Cicut Sutiyarso menjatuhkan pidana berupa pidana penjara selama 10 tahun.














Persidangan
Dalam putusan pertama, Majelis Hakim menyatakan bahwa unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Menurut Majelis Hakim, unsur-unsur yang terbukti dalam kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa Tanjung Priok adalah : adanya serangan, ditujukan terhadap penduduk sipil, serangan yang meluas atau sistematik.
Sedangkan dalam putusan model kedua, unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi. Mengenai unsur meluas atau sistematik ini, Majelis Hakim menyatakan bahwa fakta yang diungkapkan Jaksa Penuntut Umum yang didasarkan pada bukti-bukti yang ditemukan di persidangan, bukan merupakan bukti adanya serangan sistematik atau meluas sifatnya yang merupakan unsur dari kejahatan kemanusiaan18.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa fakta yang dikemukakan oleh Jaksa Penuntut Umum atas peristiwa tanggal 12 September 1984 yang terjadi di Jalan Yos Soedarso, Tanjung Priok lebih menunjukkan bukti terjadi bentrokan seketika atau spontan antara aparat dan massa (bandingkan dengan tuntutan JPU)19.
Dengan demikian, bentrokan yang terjadi secara spontan atau seketika bukan merupakan delik adanya kejahatan kemanusiaan atau ciri terjadinya pelanggaran HAM yang berat karena bentrokan seketika atau spontan merupakan ciri yang biasa yang terjadi di dalam kejahatan pada umumnya20


 
 Kasus terbunuhnya Marsinah, seorang pekerja wanita PT Catur Putra Surya Porong, Jatim
 Latar Belakang
Pada pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra Surya) pabrik tempat kerja Marsinah resah karena ada kabar kenaikan upah menurut Sudar Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu termuat himbauan pada para pengusaha untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok. Pada minggu-minggu tersebut, Pengurus PUK-SPSI PT. CPS mengadakan pertemuan di setiap bagian untuk membicarakan kenaikan upah sesuai dengan himbauan dalam Surat Edaran Gubernur.
Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh buruh PT. CPS tidak masuk kerja, kecuali staf dan para Kepala Bagian. Hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker Surabaya untukmencari data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yang ingin Marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang hendak mogok.
Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift serentak masuk pagi dan mereka bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam yang menjaga pabrik menghalang-halangi para buruh shift II dan shift III. Para satpam juga mengibas-ibaskan tongkat pemukul serta merobek poster dan spanduk para pengunjuk rasa sambil meneriakan tuduhan PKI kepada para pengunjuk rasa.
Aparat dari koramil dan kepolisian sudah berjaga-jaga di perusahaan sebelum aksi berlangsung. Selanjutnya, Marsinah meminta waktu untuk berunding dengan pengurus PT. CPS. Perundingan berjalan dengan hangat. Dalam perundingan tersebut, sebagaimana dituturkan kawan-kawannya. Marsinah tampak bersemangat menyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya perwakilan dari buruh yang tidak mau mengurangi tuntutan. Khususnya tentang tunjangan tetap yang belum dibayarkan pengusaha dan upah minimum sebesar Rp. 2.250,- per hari sesuai dengan kepmen 50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Setelah perundingan yang melelahkan tercapailah kesepakatan bersama.
Namun, pertentangan antara kelompok buruh dengan pengusaha tersebut belum berakhir. Pada tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil kodim Sidoarjo. Pemanggilan itu diterangkan dalam surat dari kelurahan Siring. Tanpa dasar atau alasan yang jelas, pihak tentara mendesak agar ke-13 buruh itu menandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa menerima PHK karena tekanan fisik dan psikologis yang bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8 buruh di-PHK di tempat yang sama.
Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Marsinah marah saat mengetahui perlakuan tentara kepada kawan-kawannya. Selanjutnya, Marsinah mengancam pihak tentara bahwa Ia akan melaporkan perbuatan sewenang-wenang terhadap para buruh tersebut kepada Pamannya yang berprofesi sebagai Jaksa di Surabaya dengan membawa surat panggilan kodim milik salah seorang kawannya. Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 9 Mei 1993
Kematian Marsinah
Mayatnya ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Ia yang tidak lagi bernyawa ditemukan tergeletak dalam posisi melintang. Sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecet-lecet, mungkin karena diseret dalam keadaan terikat. Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Di sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul. Pada bagian yang sama menempel kain putih yang berlumuran darah. Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas, mengenaskan.
Proses Penyelidikan dan Penyidikan
Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS (Yudi Susanto, 45 tahun, pemilik pabrik PT CPS Rungkut dan Porong; Yudi Astono, 33 tahun, pemimpin pabrik PT CPS Porong; Suwono, 48 tahun, kepala satpam pabrik PT CPS Porong; Suprapto, 22 tahun, satpam pabrik PT CPS Porong; Bambang Wuryantoyo, 37 tahun, karyawan PT CPS Porong; Widayat, 43 tahun, karyawan dan sopir di PT CPS Porong; Achmad Sutiono Prayogi, 57 tahun, satpam pabrik PT CPS Porong; Karyono Wongso alias Ayip, 37 tahun, kepala bagian produksi PT CPS Porong) ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari, 26 tahun, selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Pasal yang dipersangkakan Penyidik Polda Jatim terhadap para tersangka dalam Kasus Marsinah tersebut antara lain Pasal 340 KUHP, 255 KUHP, 333 KUHP, hingga 165 KUHP jo Pasal 56 KUHP.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni) Jaksa / Penuntut Umum. Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa".
Temuan Komnas HAM
Tim Komnas HAM dalam penyelidikan awal melihat ada indikasi keterlibatan tiga anggota militer dan seorang sipil dalam kasus
pembunuhan Marsinah. Salah satu anggota Komnas HAM Irjen Pol. (Purn) Koesparmono Irsan mengemukakan, agar kasus itu bisa terungkap harus ada keterbukaan semua pihak dengan berlandaskan hukum, bukan masalah politik. Ia beranggapan, jika masalah itu dibuka secara tuntas maka kredibilitas siapa saja akan terangkat. "Yang jelas Marsinah itu dibunuh bukan mati dhewe, tentu ada pelakunya, mari kita buka dengan legawa. Makin terbuka sebetulnya kredibilitas siapa saja makin terangkat. Tidak ada keinginan menjelekkan yang lain," katanya. Ia mengakui bahwa kasus yang sudah terjadi tujuh tahun lalu itu hampir
mendekati kedaluwarsa
untuk diproses secara hukum. Kendala yang dihadapi kepolisian saat ini adalah masalah pengakuan dari semua pihak. "Mau nggak mengakui sesuatu yang memang terjadi. Makanya saya kembalikan, mari tegakkan hukum, jangan politiknya. Kalau hukum itu 'kan tidak mengenal Koesparmono, atau pangkatnya apa, tetapi yang ada adalah orang yang melakukan. Kalau ini dibawa ke suatu arena politik yang ada solidaritas politik," katanya.
Temuan lain Komnas HAM yaitu dalam proses penangkapan dan penahanan para terdakwa dalam Kasus Marsinah itu melanggar hak asasi manusia. Bentuk pelanggaran yang disebutnya bertentangan dengan KUHAP itu, antara lain, adanya penganiayaan baik fisik maupun mental. Komnas HAM mengimbau, pelaku penganiayaan itu diperiksa dan ditindak.







Tragedi Trisakti

LIMA belas tahun yang lalu, enam mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembus peluru polisi. Mereka menjadi martir saat melakukan aksi demonstrasi menolak pemilihan kembali Soeharto sebagai Presiden, pada 12 Mei 1998 silam. Kematian pejuang pro demokrasi itu, dengan cepat menyebar dan membakar amarah rakyat.
                Peristiwa itu terjadi saat ribuan mahasiswa menggelar longmarch dari kampus Trisakti di Grogol, menuju Gedung DPR/MPR di Slipi Jakarta. Namun, baru sampai depan kampus, mereka sudah dihadang ratusan polisi bersenjata lengkap dengan posisi siap menembak. Meski dihadapkan dengan moncong sejata, pemuda-pemudi pemberani ini tak gentar.
                Mereka tetap melangsungkan aksi demonstrasi dengan menggelar mimbar bebas di jalan selama berjam-jam. Polisi yang kesal kemudian menyuruh mahasiswa masuk, sambil mengancam akan menembak jika mereka tak mendengar.
                Mahasiswa pun setuju untuk kembali ke dalam kampus dengan damai. Namun, saat akan masuk ke dalam kampus, mereka mendapat provokasi hingga berujung pada bentrokan fisik. Suasana berubah menjadi chaos, dan terdengar suara rentetan tembakan ke arah massa pro demokrasi itu.
                Enam orang dinyatakan tewas dalam peristiwa penembakan itu. Sementara 16 orang mahasiswa lainnya, termasuk pelajar, dan masyarakat yang ikut dalam aksi mengalami luka parah. Mereka dipukuli, diinjak, dan menjadi korban penembakan brutal polisi.
                Para mahasiswa yang tewas tertembak dalam tragedi Trisakti adalah Elang Mulia Lesmana (Fakultas Arsitektur 1996), Alan Mulyadi (Fakultas Ekonomi 96), Heri Heriyanto (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin 95), Hendriawan (Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen 96), Vero (Fakultas Ekonomi 96), dan Hafidi Alifidin (Fakultas Teknik Sipil 95).
                Selain mahasiswa, Samsul Bahri, siswa STM juga tewas. Dia terkena peluru tajam pada bagian perutnya hingga terburai, dan langsung dilarikan ke rumah sakit untuk operasi. Sayang, nyawa pelajar pemberani ini tak tertolong.
                Pada saat yang sama, di kampus Atmajaya, massa mahasiswa yang tergabung dalam Forum Kota (Forkot) tengah melakukan aksi mimbar bebas di dalam kampus. Saat mendengar rekannya tewas tertembus timah panas, mereka berencana bergabung dengan mahasiswa Trisakti. Namun, baru sampai depan kampus, mereka dihadang polisi.
                Pasca peristiwa itu, amuk massa terjadi dimana-mana, hingga 15 Mei 1998. Ribuan gedung, toko, dan rumah dihancurkan. Bahkan ada yang dibakar oleh massa. Sasaran kemarahan massa saat itu dialihkan kepada etnis China. Tidak hanya menjarah, massa juga membunuh, dan memperkosa para wanita keturunan etnis minoritas itu.
                Situasi benar-benar tidak terkendali. Mahasiswa ada yang coba menenangkan, namun gagal. Sedang aparat kepolisian, dan tentara yang berjaga-jaga di lokasi saat itu, hanya menonton dari kejauhan. Alhasil, ribuan orang menjadi korban. Ada yang tewas dalam bentrok, hilang diculik, hingga terpanggang api saat melakukan penjarahan.

                Berdasarkan data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), pelaku kerusuhan pada 13-15 Mei 1998 dibagi menjadi dua golongan. Terdiri dari massa pasif (massa pendatang) yang karena diprovokasi berubah menjadi massa aktif, dan kedua kelompok provokator.
                Para provokator ini, umumnya bukan dari wilayah setempat. Secara fisik, mereka tampak terlatih, dan sebagian memakai seragam sekolah seadanya (tidak lengkap). Bahkan mereka tidak ikut menjarah, dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar. Belum diketahui siapa provokator ini.
                Mereka juga membawa dan menyiapkan sejumlah barang untuk keperluan merusak dan membakar, seperti jenis logam pendongkel, bahan bakar cair, kendaraan, bom molotov, dan sebagainya.
                Kelompok inilah yang menggerakkan massa dengan memancing keributan, memberikan tanda-tanda tertentu pada sasaran, melakukan perusakan awal, pembakaran, dan mendorong aksi penjarahan. Kelompok ini datang dari luar, dan bukan penduduk setempat. Jumlah mereka hanya belasan, tetapi sangat terlatih.
                Kelompok ini mempunyai kemampuan ahli dan terbiasa menggunakan alat untuk kekerasan. Mereka juga memiliki mobilitas yang tinggi dan kerja yang sistematis. Dalam aksinya, mereka kerap menggunakan sarana transportasi, seperti motor, mobil/Jeep, dan alat komunikasi (HT/HP).
                Pada umumnya, kelompok ini sulit dikenali walaupun di beberapa kasus dilakukan oleh kelompok dari organisasi pemuda (contoh di Medan, ditemukan keterlibatan langsung Pemuda Pancasila). TGPF juga menemukan fakta adanya keterlibatan anggota aparat keamanan dalam kerusuhan di Jakarta, Medan, dan Solo.
                Dalam kesimpulannya, TGPF menyatakan, kerusuhan Mei bersifat saling terkait antar-lokasi, dengan model yang mirip provokator. Skala kerusuhan ini sangat besar dan terdapat keseragaman waktu. Lebih jauh, kerusuhan terjadi secara berurutan, dan sistematis.
                Tim juga menemukan, dugaan adanya faktor kesengajaan yang mengandung unsur penumpangan situasi. Dimana para provokator diduga sengaja menciptakan kerusuhan, sebagai bagian dari pertarungan politik di tingkat elite.
                Kesimpulan itu merupakan penegasan bahwa terdapat keterlibatan banyak pihak, mulai dari preman lokal, organisasi politik dan massa, hingga adanya keterlibatan sejumlah anggota dan unsur di dalam ABRI yang ada di luar kendali dalam kerusuhan itu.
Penyelesaian kasus penembakan mahasiswa di kampus Trisakti
Penyelesaian kasus penembakan mahasiswa di kampus Trisakti, Semanggi I dan II terbentur Undang-Undang Hak Asasi Manusia nomor 39/1999. Pasal 91 undang-undang itu menyebutkan Komisi Nasional HAM harus menghentikan penyidikan kasus ini jika sudah ada upaya hukum lainnya. Sementra, para pelaku penembakan itu sendiri sudah dihukum melalui pengadilan militer pada 2001.
                Untuk itu, Ketua Satuan Tugas HAM Kejaksaan Agung, B.R. Pangaribuan, setuju jika dibentuk tim khusus membahas jalannya penyelesaian kasus ini tanpa melanggar Undang-undang HAM itu sendiri. "Baiknya memang ada pertemuan membahas kasus ini," katanya kepada Tempo News Room, di Jakarta, Selasa (5/11).

                Tim itu, kata dia, musti terdiri dari tim penyidik kejaksaan, anggota penyelidik Komnas HAM, Mahkamah Agung, dan DPR. Dijelaskan, gagasan ini sebenarnya sudah pernah ada ketika Sekjen Komnas HAM masih dijabat Asmara Nababan. Bersama dengan anggota KPP HAM, Albert Hasibuan, ia pernah bertemu dengan Jaksa Agung, M.A. Rachman. Dan, ide tersebut muncul. Namun, “Tim itu gagal dibentuk karena Asmara Nababan tak terpilih lagi jadi Sekjen," katanya. Alhasil, gagasan itu mentah lagi disusul pergantian anggota komisi.
                Lebih lanjut, Pangaribuan menyatakan, jaksa pasti kesulitan memproses kasus ini karena Undang-Undang HAM saling bertolak belakang satu sama lain. "Kalau sudah disidik, mau dibawa ke mana berkas itu? Pengadilannya saja tidak ada," katanya. Ia merujuk hasil Panitia Khusus DPR untuk kasus ini yang menyatakan bahwa peristiwa penembakan itu bukan tergolong pelanggaran HAM berat. Maka, agar kasus ini bisa diadili, DPR harus mengusulkan pembentukan pengadilan HAM ad hoc kepada Presiden, sesuai pasal 43, UU 26/2000.
                Pasal itu berbunyi, “Seorang komandan dinyatakan bersalah jika tak mencegah anak buahnya melakukan pelanggaran HAM, atau tidak mau menyerahkannya ke penuntutan untuk diadili.” Faktanya, kata Pangaribuan, pengadilan militer sudah menghukum para prajurit yang jadi tersangka kasus ini. Sementara, untuk mengadili para komandannya harus dibentuk pengadilan HAM ad hoc dulu. Repotnya, pembentukan pengadilan seperti itu pun melanggar pasal 91, UU Hak Asasi Manusia, Nomor 39/1999.

Selasa, 19 Maret 2013

Ciri Burung Cendet Siap Tempur (Tips 3M)


Ciri Burung Cendet Siap Tempur (Tips 3M)



Ciri Burung Cendet Siap Tempur merupakan ciri-ciri yang sangat dinantikan oleh pecinta burung Cendet baik siap fisik maupun mental bagi yang ingin melombakan Cendet mereka untuk sekedar trek dengan beberapa Cendet, Latihan Bersama (Latber) bahkan hingga Lomba.
Tips 3 M kali ini saya rangkum untuk menggambarkan ciri burung Cendet yang siap tempur untuk lomba atau diadu dengan burung Cendet lainnya.
Apa saja Tips 3 M tersebut..??

1. Menyilang : Tips 3 M pertama yang menjadi tanda atau ciri burung Cendet siap tempur dapat dilihat pada bagian sayap burung Cendet yang terlihat saling silang di atas bahu atau pangkal ekor. Sayap menyilang diyakini sebagai ciri burung Cendet siap tempur (burung sedang kondisi) yang termasuk ke dalam tip 3 M. 

2. Menyatu : Tips kedua dari rumus 3 M untuk mengetahui ciri burung Cendet siap tempur atau siap lomba adalah dapat terlihat pada bagian ekor burung Cendet yang saling menyatu membentuk menyerupai angka satu (1) biasanya burung Cendet yang bagian ekornya sudah membentuk angka 1 akan gacor dan cenderung mempunyai semangat tempur yang tinggi. 

3. Menyepah/Muntah : Ciri ketiga dari Tips 3 M sebagai ciri burung Cendet siap tempur dapat kita lihat dari perilaku Cendet yang menyepah/muntah, namun bukan sembarang sepahan yang menjadi ciri burung Cendet siap tempur, sebab sepahan atau muntahan yang diyakini sebagai sisa makanan yang tidak mampu dicerna oleh burung Cendet ini haruslah berbentuk lebih bulat dan memiliki tekstur lebih padat dari sepahan yang biasanya berbentuk lonjong. Sepahan yang bulat dan padat diyakini sebagai pertanda bahwa burung sedang Top Form atau dalam kondisi terbaiknya untuk dilombakan.

Itu tadi 3 M sebagai Tips kita untuk mengetahui Ciri Burung Cendet Siap Tempur dilihat dari beberapa tanda fisik yang dapat kita amati secara langsung pada Cendet kesayangan kita. Selain ciri 3 M tanda burung Cendet siap tempur tadi tentu saja kita juga tidak boleh mengabaikan faktor lain yang berperan dalam kesiapan Cendet untuk lomba seperti mengetahui dengan pasti umur burung Cendet siap lomba, perawatan harian burung Cendet yang maksimal,  perawatan Cendet pra lomba, hingga perilaku lainnya dari burung Cendet kita.
Meskipun tidak dapat dijadikan pegangan seratus persen dan tentunya masih banyak pendapat lain yang berbeda dari pemain Cendet satu dengan lainnya, semoga saja tulisan tentang tips 3 M mengetahui Ciri Burung Cendet Siap Tempur ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

By :
Free Blog Templates